cahaya menyeruak masuk
melintasi besi-besi pembatas
mampu sedikit mengelus kepengapan
kutatap asal cahaya dengan mata nanar
dinding berlumut yang selalu jadi tempat bersandar
dinding berlumut yang telah lama setia mengurung
teramat sering kepalan tanganku berdarah
ketika geram kurasa
kala mengingat kemasa silam
tiada tangis terisak
tiada suara menggeru
yang ada hanya bercak darah kepalanku di dinding
kuhela nafas dalam sadar dengan wajah menatap arah luar
kunanti waktu dimana sinar surya dapat kucumbu bebas
tapi ceria itu seperti sirna
bila aku membayangkan setelah kaki menapak aspal lagi
apa semua masih sama...?
apa mereka masih sama...?
apa diriku masih diterima...?
aku hanya mampu menunduk menatap ubin
inilah diriku yang bernoda
yang hanya seekor anjing dalam kubangan dosa