Si ibu menghela nafas panjang-panjang,
kemudian ia berkata "Nak, apa yang kau inginkan sekarang.?" si anak
diam. "Apakah kamu mau kembali seperti waktu masih kecil dulu? Yang benar
saja kamu, itu tak mungkin” canda si ibu,
"Tapi ibu", jawab
si anak."aku takut menghadapi kehidupan ini, negeri ini semakin gila, tanahya
berceceran darah dimana-mana, negeri ini seperti tinggal tulangnya, darahnya
seperti di hisap, dagingnya menipis hingga kulit yang membalutnya lentur keriput"
"Sudahlah" suara si
bapak menyela, "tak perlu kamu terlalu pikirkan, itulah mengapa bapak dan
ibumu berharap kamu menimba ilmu sebanyak-bayaknya, suatu saat kamu akan tau. Yang
terpenting tetap pada ajaran agama, dan terus belajar yang rajin".
Si ibu pun berkata "kau harus
ingat nak, kamu memang lahir dan tumbuh dari keluarga biasa, dan tidak keluar
dari pintu yang mentereng, apalagi turun dari mobil mewah. Kamu bukan
itu". Menghela nafas sejenak, "tetapi yang harus kamu tanamkan kuat
dalam hatimu, kamu harus melawan rasa takutmu. kamu harus tegar melewati
seleksi alam yang menantangmu, yakinkan dirimu bahwa kamu bisa menjadikan
tangan, otak, hati untuk menuliskan namamu pada wajah sejarah karena keberanianmu".
Si anak diam, melongo hanya bisa
menelan ludahnya. Dengan ragu si anak kembali bertanya, "memang bisa bu..?
Bagaimana.? Si ibu diam sejenak memandang anaknya dan berkata "Nak, kamu
harus rela menelan pahitnya hidup untuk menyehatkan kehidupan yang sudah lemas
tak berdaya. Kamu harus ikhlas lahir untuk dunia dengan derita, luka, suka dan
tawa yang akan kamu ubah menjadi cinta". Jelas si ibu.
Si anak hanya melongo, entah
ia mengerti apa tidak. di tengah suasana ruang tamu yang kian menghening, dan
kepulan rokok dibibir si bapak yang tak lagi mengalir di bibirnya, si ibu
berkata "iya sudah nak, kamu kelihatan lelah, lupakan ketakutanmu”
Wajah bapak dan ibunya
semakin buram, benda-benda sekelilingnya pun ikut menghilang, cahaya makin
redup menghitam berubah gelap, namun satu suara masih memburunya “bangunlah
sebuah cita menantimu”.
Tiba-tiba seperti mendapat
hentakan hebat, tubuhnya menggujang, keringat bergelimang di dahinya. Seketika
ia sadar. Bahwa ia baru saja terbangun dari tidurnya, dan pulang ke kampungnya berkumpul dengan bapak
ibunya itu hanyalah mimpi.
Dan ia kaget melihat
sekitarnya, buku dan kertas-kertas berserakan di lantai, dan laptopnya yang
masih menyala. seketika ia ingat masih bayak tugas kuliah yang masih belum
terselesaikan. Tapi tubuhnya masih terasa lelah, dan bayangan mimpi tadi masih
sangat jelas di pikirannya.
Lalu ia membereskan
kertas-kertas yang penuuh coretan. Laptop ia matikan dan diletakkan di atas
meja belajarnya. Sememtara senja semakin menampakkan kegelapannya. Sedikit demi
sedikit membawa kegeisahannya.
Tentang mimpi tadi ia berpikir
adalah ilmu yang berharga.